Menurut cerita para tua-tua adat Desa Tincep berdasarkan tuturan para leluhur
mereka jaman dahulu Desa Tincep berasal dari kata ″ SICEP″ yang artinya Penangkap. Konon sebelum
ada Desa Tincep, wilayah ini masih diliputi hutan yang lebat. Tersebutlah ada
wilayah sebelah selatan yang saat ini bernama Kiawa yang dikenal memiliki
populasi penduduk yang padat. Demi mencari wilayah pemukiman baru sekaligus
sebagai tempat untuk bercocok tanam, mereka mendapati di sebelah utara wilayah
yang sesuai dengan keinginan mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit warga kiawa
ini mulai merombak hutan untuk dijadikan lahan petanian dan menetap disana
dengan menamainya Desa Sonder. Asal katanya sering disebut Simondek, Sondek
atau Sondel.
Penuturan
para tetua desa, dahulu ada seorang Datuk (Waraney) berasal dari Sonder (Mawale
Talikuran) yang bernama TOALU (nama lengkap Montolalu alias Toalu). TOALU
merupakan seorang pemburu, bekas tentara KNIL Hindia Belanda. Ketika TOALU
menelusuri hutan disebelah barat dengan mengikuti aliran sungai Munte,
memandang lebatnya hutan disebelah barat pemukimannya, Toalu langsung
memastikan bahwa tempat tersebut merupakan wilayah tak bertuan. Belum habis
sang Waraney ini terkagum-kagum dengan tempat yang baru saja ditemuinya, tiba-
tiba dari kejauhan sayup-sayup tedengar suara teriakan orang yang sepertinya
sedang bersukaria. Keingintahuannyapun langsung muncul. Perlahan-lahan, dia
mencari tempat yang tinggi mencoba mengintip apa gerangan yang ada. Ternyata
dari tempatnya berpijak, terdapat sebuah kolam (Wunong) yang sekililingnya
dipenuhi banyak orang. Tanpa pikir panjang, dia pun langsung mendatangi tempat
tersebut.
Kendati
Toalu belum mengenal betul akan berhadapan dengan siapa, dia memberanikan diri
untuk bertanya. “Siapakah yang memiliki kolam ini?” tutur TOALU bertanya dengan sopan kepada
beberapa warga. “ Noma… Sikep Noma… Meimo Sumikep… ca’mo luminga, sikep Noma”
jelas mereka dengan bahasa Tombulu.
Ada
satu ketentuan adat yang tidak tertulis, namun harus dipatuhi dan dihormati
apabila seseorang telah biasa dan menetap dan memasang perangkap untuk binatang
di dalam hutan, maka orang lain tidak berani atau enggan untuk mengganggu
lokasi tersebut. Begitupun halnya dengan menetapnya seorang pawang yang bernama
Toalu berasal dari Mawale (Talikuran Sonder).
Hari
berganti hari, Toalu pun semakin sering mendatangi tempat yang ditemuinya ini.
Dia terus mempelajari situasi dan kondisi tempat ini. Setelah sekian lama, ia
mengambil kesimpulan, orang-orang Tombulu ini ternyata hanya di waktu-waktu
tertentu saja mendatangi tempat tersebut. Keadaan ini terjadi bila sejenis kayu
yang bernama Walantakan musim berbunganya tiba. Sebab anggapan mereka, disaat
berbunga akan bersamaan dengan datangnya musim ikan. Toalu pun disaat musim
ikan mengajak teman-temannya untuk pergi menangkap ikan dan udang di tempat
ini. Cara yang mereka gunakan yakni, dengan meraba satu per satu (… sikep..
sikop…). Artinya, menangkap satu per satu. Bahkan di tempat ini juga ditemui
populasi unggas seperti burung Sikep (sejenis Elang).
Berdasarkan
sifat mereka yang berpindah-pindah, wilayah hutan yang mereka tinggalkan
menjadi hutan muda. Bagian utara desa yang bernama Pa’asun atau lebih dikenal
dengan Panikepan diambilah nama TINCEP.
Dalam upacara yang sudah direncanakan, dipilih hari untuk pelaksanaan Tumani. Segala yang behubungan dengan upacara Tumani ini diatur oleh Toalu. Diantaranya, seperti batu Tumotowa dan mengundang beberapa Tonaas dari Sonder dan sekitarnya. Upacara Tumani dipimpin langsung Toalu sambil memanjatkan doa kepada “Amang Kasuruan Wangko Si Mae’ma im Baya Waya” (Tuhan Pencipta Semesta Alam). Para Tonaas pun menyambutinya dengan menyebutkan tempat tersebut dengan Sikep atau Sikop yang kemudian berubah sebutan lengkapnya menjadi Tincep oleh penguasa pada saat itu.
Bukti sejarah yang menunjukkan asal usul Desa Tincep yakni ditemukannya Batu Tumotowa dan Puser in Tana’.
Proses
pembentukan dan perkembangan wilayah pemukiman penduduk di Desa Tincep sangat
dipengaruhi oleh salah satu cara hidup suku Minahasa yang suka berpindah-pindah
tempat tinggal. Hali ini disebabkan oleh faktor pencarian sumber makanan dan
tanah yang cocok untuk bertani, ataupun karena kepadatan penduduk dan bencana
alam. Awalnya wilayah Tincep yang adalah Hutan belukar yang kosong penduduk,
dan dijadikan lahan pertanian sambil dibuat tempat penginapan oleh beberapa
keluarga yang berasal dari desa “Kiawa” yang terkenal padat penduduknya. Lama
kelamaan tempat itu dijadikan wilayah pemukiman juga. Awalnya hanya terdapat
beberapa keluarga dengan seorang pemimpin suku (Tonaas) yang bernama “TOALU”.
TOALU sendiri berasal dari Sonder (mawale-talikurungan).
Tonaas inilah yang dipandang sebagai pemimpin yang patut dihormati. Seorang
Tonaas itu harus mempunyai kualifikasi antara lain :
·
Tonaas itu WARANEY, artinya pemberani
·
Tonaas itu harus Nama tua, artinya
mengetahui bunyi burung
·
Tonaas itu harus Tuama, artinya sanggup mengatasi
setiap tantangan yang menghadang
Adapun kelompok-kelompok keluarga yang
pertama mendiami Tincep bersama Tonaas tersebut adalah :
a.
Toalu sebagai
Tona’as
b.
sompotan
c.
rumagit
d.
mumu
e.
walewangko
f.
kelung
g. lapian
Mereka
ini membentuk dan membuka lahan pemukiman di bagian utara-timur-laut desa
Tincep adalah lokasi daerahpekuburan desa Tincep. Kemudian ada beberapa
kelompok lain di Minahasa yang menggabungkan diri membentuk pemukiman di desa
Tincep ini, antara lain :
a.
Pangkey dari
Tumumpa
b.
Pangalila dari
Manado
c.
Wajongkere dari
Langowan
d.
Rumokoy dari Suluun
e.
Tujuwale dari
Koreng
f.
Rumagit dari
Tondano
g.
Karundeng dari
Warembungan
h.
Palar dari Leilem
i.
Supit dari Tomohon
j.
Semet dari Manado
k.
Kojo dari
Suluun
Penduduk terus berkembang dengan adanya
beberapa penduduk yang berasal juga dari luar daerah Minahasa, seperti Jawa,
Sumatera, Ambon dan Sangihe Talaud. Hal ini menyebabkan meluasnya daerah
pemukiman. Pemukimanpun berkembang kearah selatan hingga ke tempat yang bernama
“langsot” yang terletak di tenggara
Tincep. Kemudian penduduk juga menyebar kearah barat desa hingga berbatasan
dengan objek wisata air terjun.
Desa Tincep secara hukum adat berdiri
sejak Tahun 1776 dengan dilaksanakannya upacara pendirian desa yakni upacara
Tumani oleh “ Toalu”. Dalam upacara yang sudah direncanakan dipilih hari untuk
pelaksanaan Tumani. Segala yang berhubungan dengan upacara Tumani ini diatur
oleh Toalu. Diantarnya seperti Batu
Tumotoa dan mengundang beberapa Tonaas dari Sonder dan sekitarnya.
Upacara Tumani dipimpin langsung Toalu sambil mamanjatkan doa kepada “Amang Kasuruan Wangko Si Mae’ma im Baya Waya” (Tuhan Pencipta Semesta Alam). Para Tonaaspun menyambutinya dengan menyebutkan tempat tersebut “sikep” atau “sikop” yang kemudian berubah sebutan lengkapnya menjadi Tincep oleh penguasa pada saat itu. Bukti sejarah yang menunjukkan asal usul desa Tincep yakni ditemukannya Batu Tumotowa dan Puser in Tana’. Batu Tumotowa sendiri menunjukkan pendirian/pengesahan berdirinya sebuah kampung di Minahasa.
Kondisi geografis
berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk ketinggian pemukiman serta luas
pemukiman dan batas wilayah yang terinci berikut ini.
1. Luas
Wilayah : 1120 Ha
2. Luas
Pemukiman : 16 Ha
3. Ketinggian wilayah : Sekitar 350 Mdpl
Kantor Desa Tincep siap melayani Anda selama jam kerja. Silakan hubungi kami melalui kontak berikut: